hai gaess, Aku ainiyyah fatin. Sedikit bercerita ini adalah cerpen nonfiksi aku. lebih tepatnya pengalaman pribadi. jujur menulis cerita pengalaman pribadi itu lebih sulit menurutku. Tetapi aku akan mencoba untuk menulis pengalaman pribadi aku selanjutnya. Yang penasaran sama aku silahkan kirim email ^^
Burung C(a)mar Kecil
Sebut saja aku Rina. Menurutku aku
bagaikan burung camar kecil yang malas pulang ke sangkarnya. Terbang
kesana-kemari mencari kesibukan. Berharap bahwa aku tak akan pulang. Inilah
yang kurasakan setiap harinya. Sungguh. Jika aku disuruh untuk memilih, aku tak
mau pulang kerumah itu. Karena setiap sudut ruangan nya dipenuhi oleh seluk
belukar masalah kehidupan. Hawa rumah ini tak lagi sama. Dimana ketika kita
memasukinya, hati ini dirasuki oleh rasa kepiluan yang mendalam. Dulu tentu
tidak seperti ini. Dulu rumah ini ramai, dengan anggota keluarga yang lengkap.
Namun kini hanya ada aku,bapakku, dan kedua bocah yang berasal dari kakaku yang
kedua, lengkap dengan ayahnya yang jarang pulang. Aku tahu mengapa dia seperti
itu, karena dia seperti burung camar.
Kedua kakakku dulu masih ada dirumah
ini. Sebelum akhirnya mereka memutuskan untuk menempuh hidupnya masing-masing.
Jika diingat, aku tidak pernah akur dengan mereka. Mereka berdua selalu saja
mengalah untukku. Seringkali kita bercengkrama bersama, membicarakan tentang
baju,rencana jalan-jalan dan lain sebagainya. Waktu itu aku masih kecil dan aku
masih bahagia. Sungguh beda rasanya jika
suatu hari nanti kita dipersatukan lagi. Entah rasa canggung atau apa yang akan
timbul nantinya. Jika saja, keadaannya seperti ini namun masih dilengkapi oleh
semua anggota keluargaku, aku pasti sedang merasakan kebahagiaan yang dibalut
oleh kesederhanaan. Namun takdirlah yang berkuasa saat ini dan masalah itu
sudah menjadi bagian dari takdir hidup keluargaku.
Kebangkrutan yang dialami keluargaku
adalah masalah yang selama ini kurasakan. Usaha warung yang dibangun oleh ibuku
selama 10 tahun lebih lamanya mengalami kebangkrutan. Kala itu usaha kami sudah
mencapai target. Toko yang semula hanya satu kami bangun lagi menjadi dua. Yang
semua hanya menjual kelontongan menjadi toko serba ada. Namun tak lama setelah
usaha baru kami berlangsung saat itulah
kami bangkrut dan sempat tutup beberapa bulan. Sejak saat itulah keadaan
dirumahku berubah drastis. Rumahku yang dulu sering terbuka lebar, menjadi
tertutup setiap saat. Siang dan malam selalu saja ada yang menggedor dengan
keras pintu rumahku. Tak jarang pula mereka berteriak memanggil nama ibuku
untuk dibukakan pintunya. Hal itu lah yang membuatku tak betah lagi dirumah.
Hingga suatu hari sepulangku dari
sekolah,aku mendapati ibu yang sedang duduk melamun dengan menghadap jendela
kamarnya. Jelas tergambar raut kesedihan di wajahnya yang mulai menua. Tampak secercah
cahaya matahari sore yang muncul dari balik jendela menghangatkan sebagian
tubuhnya. Sempat diriku terpaku sejenak memandangnya dari balik pintu. Ingin
sekali aku berlari kearahnya kemudian memeluknya dengan erat dan mengucapkan
beberapa kata-kata yang bisa membangkitkan lagi semangat hidupnya. Namun apa
daya yang bisa kulakukan hanyalah berjalan perlahan kearahnya kemudian
mengucapkan salam.
“Assamualaikum..” ucapku seraya
menyodorkan tangan untuk menyalimi tangannya. Ibu pun dengan sigap menyambut
tanganku dan menjawab salamku.
“Walaikumsalam..” jawabnya lirih.
Suara lembutnya masih bisa kudengar walau sedikit. Akupun tersenyum
kepadanya,kemudian bertanya .
“Ibu kenapa?” dia menggeleng pelan.
“Nggak papa de, Cuma pusing aja.” berkali kali aku bertanya pasti jawabnya
sepeti itu.
“Ibu udah makan?” tanya ku lagi.
“Sudah de, barusan.”
Ketika melihatnya seperti itu, diriku
seperti mati rasa. Jika kau tanya apakah aku baik-baik saja? Tentu tidak.
Rasanya hati ini ingin melupakan semua masalah lalu tidur saja. Jika aku saja
seperti ini, bagaimana dengan kedua orangtuaku? Mungkin mereka ingin bunuh
diri. Siapa tahan melihat orang tua seperti itu,tetapi aku sebagai anaknya
tidak bisa berbuat apa-apa.
Aku pun bangkit lalu keluar dari
kamar ibu menuju kamarku. Di kamar kuhempaskan seluruh tubuhku diatas kasur. Nyaman sekali rasanya. Sejenak
memejamkan mata lalu tak lama kemudian tubuhku
segera bangkit lagi dan mengganti
pakaian sekolahku deengan pakaian santai. Kemudian aku keluar menuju dapur
mencari-cari makanan yang sudah dimasak ibu. Segera aku ambil sepiring nasi dan
sayur. Lalu kulahap dengan habis semua makanan itu. Setelah makan aku pun
menaruh piring di dapur kemudian menuang segelas air putih lalu hendak menonton
tv. Tetapi ibuku datang menghampiriku. Kulihat wajah nya ingin berbicara
serius.
“Dek Rina, ibu mau ngomong
penting” jelas wajahnya serius sekali.
Sejenak aku meminum segelas air putihku lalu bicara “Ngomong
apa bu,silahkan bu ngomong aja.”
“Jadi gini dek, ibu ada rencana mau TKW kayak mbakmu itu.”
Sejenak mengingat kakakku yang kedua, sudah berangkat TKW beberapa bulan yang
lalu ke Negara Taiwan untuk membantu mencari uang.
“Mending nggak usah deh bu, kan kasian ibunya. Lagian umur
ibu kan udah lumayan tua apa masih bisa?”
“Masih bisa diusahakan dek, ibu pusing kalau terus-terusan
disini diem saja nggak menghasilkan
apa-apa. Lagian bapakmu butuh uang untuk tambahan gaji nya di bank.”
“Nanti Rina sama siapa bu?”
“Kan ada Bapak mu dek, dan ada bibimu disini.”
Aku
termenung sejenak. Entah akan seperti apa jika ibu tidak ada disini. Ibu bilang
sudah tidak tahan. Apabila masih tetap bertahan disini, yang ada ibu bisa
stress. Kacau sekali pikiranku saat itu. Ibuku hanya menunggu restu dari aku.
Jika aku mengizinkan, genap sudah
keputusan ibu untuk pergi TKW. Jika di pikir-pikir gaji nya juga lumayan untuk
membantu melunasi hutang bapak ku di bank.
Tak terasa
lamunanku buyar.Tangan lembut nya merangkul tubuh mungilku dengan pebuh kasih
sayang. Sangat jelas kurasakan kehangatan tubuhnya. Sungguh, aku tidak ingin melepaskan pelukan
itu. Tak bisa ku bayangkan jika jauh dari ibu. Aku tak bisa merasakan pelukan
hangat seperti ini lagi nantinya. Dalam sela pelukan itu, ibuku membisikan
dengan pelan sederet kata-kata untuk meyakinkan ku.
“Ibu nggak lama kok
dek, nanti ibu cepet pulang lagi Rina
disini yang sabar nunggu ibu yah. Kita nggak akan hidup gini terus dek.
Kita pasti bisa bangkit lagi. Biar
“Iya bu.” Tak sadar, tangisku pun pecah dalam pelukan nya.
Begitu juga ibu. Akupun menyetujuinya.
Sejak hari itu berlalu, ibu ku
langsung menyiapkan segala sesuatunya. Temannya lah membantu dalam persiapan
ini. Setelah itu Ibu ku menunggu proses
pemanggilan untuk mengikuti pendidikan terlebih dahulu selama 3 bulan di
Jakarta. Penantian yang sangat panjang menurutku. Usaha Toko ibuku pun diserahkan seluruhnya
kepada pamanku. Dialah yang akan melanjutkan usaha ibuku dan membantu untuk
membayarkan beberapa hutang ibuku.
Selama masa pendidikan ibu, aku hanya
bisa menghubungi nya dua kali selama seminggu. Saat itu lah hari sabtu dan
minggu adalah hari yang sangat ku tunggu-tunggu setiap minggunya. Selama
pendidikan ibuku pun sempat pulang dua kali yaitu saat menjelang Idul Fitri dan
menjelang hari keberangkatannya. Senang bukan main saat Idul Fitri bisa bertemu
dengan ibuku. Tapi mengingat juga bahwa ini adalah Lebaran terakhir sebelum
ibuku berangkat. Namun tidak begitu lama, satu minggu kemudian ibuku pun
berangkat lagi ke Jakarta.
Kepulangan nya yang kedua,yaitu
saat menjelang pemberakatan. Kepulangan nya kali ini diberi
waktu yang lumayan panjang. Tapi saat itu aku sedang menjalani masa pelatihan untuk
mengibarkan 17 agustus nanti. Sehingga aku hanya bisa bertemu ibuku di malam
hari saja. Sebenarnya aku ingin menghabiskan waktu lebih lama lagi dengan
ibuku. Namun apa daya , waktu begitu cepat berlalu. Ibuku mendapat panggilan
bahwa dia akan segera melaksanakan ujian karena sebentar lagi ibuku akan segera
berangkat ke Malaysia.
Sebelum ibuku berangkat. Sempat aku
menelfon nya beberapa kali. Menyampaikan beberapa patah kata dan bercerita
sedikit. Tampaknya bapak ku juga sangat
merindukan ibu. Betapa tidak, setiap kali bapak dan ibu ku menelfon sampai
berjam-jam lamanya.
Hingga pada tanggal 16 Agustus, saat
itu aku sedang, melaksanakan pengukuhan sebagai anggota paskibraka. Dimana
besoknya saya akan menjalankan tugas untuk mengibarkan bendera di Alun-alun.
Saat itu bapakku hadir sendiri yang seharusnya datang bersama ibuku juga. Jujur
saja saat itu aku berharap bahwa ibuku belum berangkat ke Malaysia dan bisa
menghadiri acara pengukuhanku. Namun apa daya aku hanya bisa melihat bapakku
yang sangat bijaksana itu berjalan perlahan mencariku dengan balutan kemeja
batiknya. Saat bapakku sudah tepat di depan ku , dia pun mengulurkan tangannya,
akupun segera menyambut cium tangan nya kemudian reflek langsung memeluknya
dengan erat.
“Selamat ya dek.Bapak bangga” Ucapnya
dengan suara yang bercampur dengan hiruk piruk nya suasana saat itu.
“Iya bapak..” kemudian diapun memasangkan kendit yang
dibawanya melingkari pinggangku. Andai saja ibuku bisa melihatku seperti ini.
Pasti dia bangga.
“Ibu udah berangkat ya bapak?”
tanyaku dengan sedih
“Iya ibu udah berangkat dek.”
“Coba aja ibu bisa dateng ya
bapak..” tak sadar mataku berkaca-kaca.
Bapak ku juga. Jelas sekali terlihat
dari pandangku. Dan saat itulah untuk pertama kali nya aku melihat Bapak ku menangis di hadapanku.
Waktu pun berjalan dengan sendirinya, mengalir
bagaikan arus sungai yang deras. Akan kemanakah arus ini membawaku nantinya?
Aku hanya bisa mengikutinya. Walaupun sesungguhnya diri ini bertanya-tanya.
Menunggu, mungkin ini yang harus ku lakukan. Hingga akhirnya Kakak dan ibu ku
akan datang kembali kemudian keluargaku akan kembali seperi semula. Burung
camar kecil pun nantinya akan pulang dengan segera kesangkarnya dengan
bahagia. Tanpa harus memikirkan seluk
belukar masalah yang sudah tumbuh memanjang di dalam rumahnya.